Skip to main content

Posts

Mengenang Masa Pandemi

Rasanya seperti mimpi! Itu barangkali yang sering terlintas di benak setiap kali mengingat masa pandemi Covid-19 yang begitu mencekam. Masa-masa bekerja dari rumah itu, membuat setiap dari kita memiliki hobi baru. Bagiku ada satu channel Youtube yang hampir setiap hari kutonton. Saat ini aku lupa nama channelnya. Ia bercerita tentang keseharian ibu rumah tangga dan beberapa pemikiran yang cukup relate denganku. Begitu sukanya bahkan aku mencoba meniru konsep video youtube tersebut meskipun tentu saja jauuuuh sekali hasilnya.  Aku berencana menghapusnya dari drive komputer. Maka, aku lampirkan saja dua video itu, di sini. Citepok Ciamis
Recent posts

Minggu Ke Tiga

Sudah memasuki minggu ke tiga di tahun 2024. Begitu pula dengan usia putra pertama kami. Ia tidak lagi malu-malu saat menyusu. Bahkan kedua tangan dan kakinya sudah bisa bergerak penuh tenaga saat tangisnya tak kunjung direspon dengan tepat. Jadwal bergadangnya pun sedikit sudah mulai bisa diprediksi. Ia bangun sejak ba'da isya, kemudian baru terlelap sekitar pukul 2. Selebihnya pulas hingga pagi. Seperti pagi ini. Setiap kali melihat wajahnya, aku merasa hampir tak percaya bahwa makhluk mungil ini pernah tinggal di dalam perutku sekian lama. Seiring dengan itu, kejadian di hari kelahirannya juga kembali berputar dalam ingatan, tentu beserta memori rasa sakit, lelah, takut, sampai kemudian lega. Aku bersyukur bisa melewati hari itu dengan "cukup" baik. Rasanya sampai hari ini pun, waktuku berpusat pada makhluk mungil ini. Namun akan kuusahakan aku tetap memegang kendali  atas diriku, waktuku, kegiatanku, serta tujuanku. Aku berjanji akan lebih konsisten lagi membaca tahun

2024 dan Aku di Dalamnya

sesaat sebelum kepalanya plontos dicukur sang Nini : ) Baru melangkah dua tahun sejak 2022, namun perubahan yang terjadi sangat drastis. Hai, apa kabar aku di tahun 2024? Tepat di akhir tahun kemarin, di malam pergantian tahun, aku melahirkan putra pertama kami. Seorang bayi laki-laki yang sehat, berambut tebal dan menangis saat dilahirkan ke dunia. Sebelas menit sebelum lahir, kejadian gempa menggegerkan kami semua. Bukan hanya yang ada di rumah bersalin, namun kami yang berada di seluruh kota Sumedang malam itu. Aku sedang rusuh melawan rasa nyeri sekaligus mulas yang baru kupelajari dan kualami hari itu. Selama beberapa detik kehilangan selera untuk mengeluh. Namun begitu gempa berlalu, aku hanya ingin cepat-cepat disuruh mengedan.  Mundur ke akhir April, pertama kalinya aku membeli test pack ke apotek. Meski bukan sebuah dosa, tapi aku malu saat mengatakannya pada petugas. Besok paginya aku mencoba menggunakan test pack tersebut dan melihat dua garis merah terbentuk. Kabar baik bah

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Hello, My October

Jauh dan lama sekali perjalanan itu. Dulu kamu pikir, tempat tujuan adalah hal paling penting. Lama-lama, kamu sadar bahwa apa yang kamu temukan dalam perjalanan, jauh lebih berharga.  Tidak semua teman mengalami perjalanan sejauh dan selama dirimu. Bahkan bagi teman yang tidak pernah kita pikirkan, perjalananmu mungkin terhitung cepat. Di sini kamu sadar bahwa cepat dan lambat, itu relatif. Karena relatif, itu tidak menjadi patokan penting. Katanya, kecepatan bukan segalanya. Begitu pula kelambanan.  Berpikir hati-hati dan mendalam, katamu itu diperlukan. Tapi itu juga bukan segalanya. Kita perlu patokan. Kita perlu arah yang membuat kita sampai ke tujuan. Arah yang tidak mungkin diri kita sendiri yang menentukan. Kita hanya setitik debu di alam semesta. Bagaimana caranya tahu bahwa arah kita sudah benar, kecuali berpatok pada aturan Tuhan? Aturan Tuhan juga tidak mungkin datang sendirinya pada kita. Kita harus pandai membaca, mengingat, membaca lagi, mengingat lagi. Mutiara-mutiara i

Diri Sendiri

Waktu seringkali terasa berjalan cepat ketika kamu menengok kembali ke belakang. Sekarang kamu sudah di sini dengan segala ide, pikiran dan prioritas kehidupan. Dalam sehari, berapa banyak porsi waktu yang kamu peruntukkan bagi diri sendiri? Kamu berpikir semakin dalam, sudah lupa kapan bersikap egois. Tunggu, kamu meralat. Memikirkan diri sendiri tidak sama dengan bersikap egois. Memikirkan diri sendiri artinya peduli. Jadi, seberapa banyak porsi itu? Sedikit sekali. Sebelum bekerja kamu banyak menghabiskan waktu scroll feed instagram, melihat kehidupan teman dekat sampai tokoh nasional yang keberadaannya nggak penting-penting amat buatmu. Tanpa sadar kamu sering memikirkan mereka. Apa yang mereka kerjakan hari ini, baju merk apa lagi yang mereka pamerkan, tempat wisata apa yang mereka kunjungi, kata-kata indah apa yang mereka posting, hingga isu politik nasional apa yang sedang hot.  Waktunya bekerja. Tentu saja di situ posisimu melayani orang lain. Pulang kerja, kamu lelah. Scroll l

Dear, Me

Meja lipat di tepi jendela, kursi tinggi yang nyaman, kabut putih, hujan rintik-rintik, kemudian secangkir kopi panas. Buku catatan, pulpen warna warni, penggaris, sepidol, laptop, buku contekan kebahagiaan. Somebody to love. Peta perjalanan. Target-target super kecil. List pekerjaan harian. Mari kita wujudkan ^ ^

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denganmu. Sibuk ada

Tahu Bumbu Rabu

  Tinggal di kota tahu, tumbuh bersama jajanan seperti tahu gejrot, besar dengan hidangan serba tahu. Tahu bukan sajian aneh, baik bagiku maupun untuk kebanyakan orang di negeri ini. Murah, enak, sehat. Sebelum berani mengambil resiko (baca: kerepotan) masakan tahu yang kubuat paling-paling sebatas tahu goreng, tahu berontak, tahu krispi, tahu bulat yang tinggal menggoreng, tahu bala alias balahu. Tapi memasak rupanya soal mengambil tantangan baru. Bumbu masakan yang satu ini terdiri dari bawang bersaudara, cabe, garam, gula, kemiri, salam, sereh, kecap. Bumbu yang lebih rumit dari biasanya. Tekniknya pun tidak cukup dipotong, tapi perlu diulek. Artinya lebih banyak pekerjaan mengupas, mengiris serta lebih banyak cucian kotor. Resikonya lebih tinggi dari tahu-tahu goreng dengan kesulitan level 1. Kenapa aku memutuskan untuk membuat masakan yang penuh resiko ini? Nanti kapan-kapan aku ceritakan. Ini adalah percobaan kali ke tiga, menurutku lumayan ada progres. Percobaan pertama tahu kur

Menerima Kebaikan

Berbuat baik itu butuh latihan, begitu pula menerimanya. Ada segelintir orang yang menerima kebaikan saja susahnya minta ampun. Sudah tahu repot, namun ketika dibantu menolak dengan sikap defensif. Orang yang berniat baik mau membantu itu jadi segan, lalu jadi enggan.  Jika itu diri kita sendiri, coba pertimbangkan sudut pandang orang yang berniat membantu. Melakukan kebaikan tidak selalu mudah. Sebaiknya jangan terlalu sering mematahkan niat baik seseorang hingga ia merasa terluka. Terima saja, abaikan rasa 'tidak enak' yang sebenarnya tidak terlalu jujur itu. Jika itu orang lain, coba untuk memaklumi saja, jangan cepat patah hati. Mungkin, orang itu terlalu keras pada dirinya sendiri sehingga merasa canggung menerima kebaikan dari orang lain. Barangkali dia terlalu terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Terima saja, berikan senyuman tulus dan tunjukkan bahwa kamu benar-benar berniat membantunya tanpa pamrih. Berbuat baik itu butuh latihan, begitu pula menerimanya. Jadi, bagaiman